Pasar keuangan Indonesia menguat pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sampai nilai tukar rupiah mengalami apresiasi.
Kemarin, IHSG ditutup di posisi 6.096,43. Menguat 0,44% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Frekuensi perdagangan tercatat 1,56 juta kali yang melibatkan 24,63 miliar unit saham dengan nilai Rp 13,31 triliun. Namun investor asing membukukan jual bersih (net sell) senilai Rp 2,95 miliar.
Di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil atau yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun 0,3 basis poin (bps) menjadi 6,3014%. Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena peningkatan permintaan.
Tidak hanya yang tenor 10 tahun, yield SUN tenor lain pun mayoritas terkoreksi. Berikut perkembangan yield SUN berbagai tenor pada penutupan perdagangan kemarin:
Pasar keuangan Tanah Air yang semarak itu menjadi modal bagi penguatan rupiah. Aliran modal masuk membawa rupiah berjaya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Kala penutupan pasar spot, US$ dibanderol Rp 14.420. Rupiah menguat 0,28% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Beralih ke bursa saham AS, tiga indeks utama ditutup cenderung melemah tetapi dalam rentang tipis. Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan S&P 500 turun masing-masing 0,28% dan 0,18%, tetapi Nasdaq Composite masih bisa menguat 0,06%.
Sepertinya investor di Wall Street dilanda dilema merespons perkembangan terkini yang positif dan negatif secara bersamaan. Berita buruknya dulu, ada tendensi proses pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam mulai mentok.
Pemulihan ekonomi yang bermasalah itu tercermin dari aktivitas manufaktur yang melambat. Pada Juli 2021, Intitute of Supply Management (ISM) melaporkan aktivtas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) berada di 59.5. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 60,9.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di atas 50, artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi.
Memang benar PMI manufaktur AS masih di atas 50, bahkan lumayan jauh di atas 50. Ini menunjukkan industriawan Negeri Adikuasa masih melakukan ekspansi. Namun laju ekspansi itu belambat dibandingkan Juni 2021. Bahkan PMI manufaktur AS turun dalam dua bulan beruntun.
|
Sepertinya pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) kembali ‘menghantui’ kehidupan warga Negeri Adidaya. Per 1 Agustus 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan total pasien positif corona di AS berjumlah 34,77 juta orang. Bertambah 107.367 orang dari hari sebelumnya, penambahan kasus harian tertinggi sejak 22 Juli 2021.
Dalam sepekan terakhir, rata-rata pasien positif bertambah 77.631 orang per hari. Lebih tinggi ketimbang rerata tujuh hari sebelumnya yaitu 71.476 orang setiap harinya.
|
Perkembangan ini kembali membuat warga AS ragu-ragu beraktivitas di luar rumah. Pada 29 Juli 2021, aktivitas masyarakat di perumahan adalah 7% di atas hari-hari normal sebelum pandemi.
Selama seminggu terakhir, rata-rata aktivitas warga #dirumahaja tercatat 4,57% di atas kondisi normal. Lebih tinggi dibandingkan rerata tujuh hari sebelumnya yakni 4,29%.
|
Saat warga kembali berdiam di rumah karena khawatir tertular virus mematikan, maka ekonomi pun bergerak lebih lambat. Produksi maupun permintaan sama-sama terpukul. So, tidak heran ekspansi industri manufaktur AS melambat.
Namun di sisi lain, ada berita baik. Senat AS mengajukan proposal stimulus infrastruktur senilai US$ 1 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari US$ 550 miliar pembangunan proyek baru mulai dari jalan, jalur kereta api, stasiun pengisian daya kendaraan listrik, jaringan internet berkecepatan tinggi, dan jalur pipa air, serta US$ 450 miliar dari berbagai proyek yang sudah disetujui sebelumnya.
“Saya rasa kami bisa memproses dan mengesahkan proposal ini dalam beberapa hari ke depan. Ini adalah kebijakan yang penting untuk modernisasi infrastruktur kita yang sudah tua dan ketinggalan zaman,” kata Pimpinan Mayoritas Senat dari Partai Demokrat Chuck Schumer, seperti dikutip dari Reuters.
Stimulus infrastruktur sebesar ini, jika disetujui, maka bakal ‘merangsang’ perekonomian AS. Lapangan kerja akan semakin terbuka sehingga ekonomi bisa tumbuh lebih tinggi.
Kombinasi ancaman pandemi dan stimulus infrasturkutur membuat investor di bursa saham Wall Street ragu untuk melangkah. Daripada terperosok, pelaku pasar memilih untuk menahan diri sambil menunggu perkembangan selanjutnya.
Lagipula, Wall Street sudah naik bulan lalu. Sepanjang Juli 2021, DJIA naik 1,3% secara point-to-point. Dalam periode yang sama, S&P 500 bertambah 2,3% dan Nasdaq menguat 1,2%.
“Sejak akhir Perang Dunia II, sudah 13 kali indeks S&P 500 mencatat enam atau lebih rekor tertinggi selama Juli. Dari 13 kali itu, pasar jatuh 12 kali pada bulan sesudahnya (Agustus). Jadi memang pasar butuh istirahat setelah berulang kali membukukan rekor tertinggi,” kata Sam Stovall, Chief Investment Strategist di CFRA Research, seperti dikutip dari Reuters.
Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu Wall Street yang melemah. Merahnya Wall Street bisa mempengaruhi mental investor di Asia, sehingga IHSG sampai rupiah berada dalam bahaya.
Kedua, investor patut waspada dengan perkembangan di pasar komoditas, terutama minyak. Harga minyak dunia jatuh sangat dalam.
Pada pukul 01:52 WIB, harga minyak jenis brent berada di US$ 72,89/barel. Anjlok 4,51% dari hari sebelumnya.
Sementara yang jenis light sweet harganya US$ 71,18/barel. Ambruk 3,75%.
|
Kekhawatiran terhadap penurunan permintaan menjadi pemberat langkah si emas hitam. Tidak hanya AS, data ekonomi China pun mengecewakan.
Caixin melaporkan PMI manufktur Negeri Panda pada Juli 2021 berada di 50,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 51,3 sekaligus menjadi yang terendah sejak April tahun lalu.
|
Padahal AS dan China adalah dua negara konsumen minyak terbesar dunia. Pada 2018, total konsumsi minyak AS dan China mencapai 34,4 juta bare;/hari. Angka ini sudah 41% dari total konsumsi minyak dunia.
|
“Oleh karena itu, pasar begitu bereaksi terhadap data di AS dan China. Sebab keduanya adalah konsumen minyak terbesar di dunia. Penurunan konsumsi di sana akan sangat mempengaruhi pasar,” sebut John Kilduff, Partner di Again Capital LLC yang berbasis di New York, sebagaimana diwartakan Reuters.
Selain itu, tingginya pasokan juga membuat harga tertekan. Survei Reuters menunjukkan produksi minyak di negara-negara OPEC pada Juli 2021 alah 26,72 juta barel/hari. Bertambah 610.000 barel/hari dibandingkan sebulan sebelumnya.
Arab Saudi menjadi negara dengan kenaikan produksi tertinggi, mencapai 460.000 barel/hari. Disusul oleh Uni Emirat Arab dengan tambahan 40.000 barel/hari. Sementara Kuwait dan Nigeria menambah masing-masing 30.000 barel/hari, serta Irak naik 20.000 barel/hari.
Penurunan permintaan dan peningkatan pasokan adalah ‘badai’ yang sempuna. Tekanan di dua sisi sekaligus seperti ini pasti membuat harga apapun, termasuk minyak, jadi turun.
Prahara di pasar komoditas ini dikhawaitkan bisa menular ke pasar lain, apakah itu saham, valas, atau obligasi. Kalau ini sampai terjadi, mudah-mudahan tidak, maka investor tentu harus berhati-hati.
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memperpanjang kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 hingga 9 Agustus 2021. Kepala Negara memandang PPKM sudah sukses menurunkan laju penyebaran virus corona.
“PPKM Level 4 yang diberlakukan tanggal 26 Juli sampai 2 Agustus kemarin telah membawa perbaikan di skala nasional dibandingkan sebelumnya. Baik dalam hal kasus konfirmasi harian, tingkat kasus aktif, tingkat kesembuhan, dan persentase BOR (Bed Occupancey Rate, tingkat keterisian ranjang rumah sakit). Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan perkembangan beberapa indikator kasus pada minggu ini, pemerintah memutuskan untuk melanjutkan penerapan PPKM Level 4 dari tanggal 3 sampai dengan 9 Agustus 2021 di beberapa kabupaten kota tertentu,” papar Jokowi.
Pada 3-20 Juli 2021, pemerintah menerapkan PPKM Darurat. Kemudian pada 21 Juli-2 Agustus 2021 berubah menjadi PPKM Level 4 yang memberikan sejumlah pelonggaran.
Harus diakui, terjadi perkembangan positif selama masa PPKM. Dalam sepekan terakhir, tambahan kasus positif harian rata-rata adalah 38.295 orang per hari. Turun dibandingkan rerata tujuh hari sebelumnya yaitu 40.429 orang per hari.
|
PPKM yang membatasi aktivitas dan mobilitas masyarakat pun ampuh dalam meredam penyebaran virus corona. Ini terlihat dari tingkat reproduksi efektif (Rt) yang semakin turun.
Jika Rt masih di atas satu, maka seorang pasien positif corona berisiko menulari orang lain. Akibatnya, rantai penularan semakin panjang dan pandemi tidak terendali.
Kabar baiknya, sekarang sudah lebih banyak provinsi yang punya Rt di bawah satu. Mengutip catatan Bonza per 3 Agustus 2021 pukul 02:26 WIB, tinggal sembilan provinsi yang punya Rt di atas satu. Artinya, penyebaran virus corona sudah lebih terkendali di mayoritas provinsi Tanah Air.
|
Oleh karena itu, wajar pemerintah memperpanjang PPKM. Presiden Jokowi tentu ingin pandemi lebih terkendali lagi sehingga lebih banyak nyawa bisa terselamatkan.
Akan tetapi, tujuan mulia ini harus dibayar mahal. Saat kesehatan mulai pulih, ekonomi malah ‘tiarap’ karena aktivitas dan mobilitas masyarakat yang dibatasi.
Di sisi dunia usaha, pabrik-pabrik sektor manufaktur merasakan pukulan dahsyat akibat penerapan PPKM. IHS Markit melaporkan PMI manufaktur Indonesia berada di 40,1 pada Juli 2021. Anjlok dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 53,5 sekaligus menjadi yang terendah sejak Juni tahun lalu.
|
“Peningkatan kasus Covid-19 menyebabkan pemerintah harus menerapkan PPKM yang membatasi mobilitas masyarakat. Efek dari kebijakan ini terjadi di sisi permintaan, produksi, dan tenaga kerja,” sebut keterangan tertulis IHS Markit.
Produksi (output) maupun pemesanan baru (new orders) turun ke posisi terendah sejak Mei 2020, mengakhiri kenaikan selama delapan bulan beruntun. Pandemi yang kembali mengganas membuat produksi dan permintaan berkurang. Tidak hanya di dalam negeri, permintaan ekspor juga turun, kali pertama dalam empat bulan.
Di tengah ketidakpastian akibat gelombang serangan kedua virus corona, pengusaha manufaktur Indonesia memilih untuk mengurangi pegawai. Responden mengungkapkan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah terjadi akibat penerapan PPKM. Meski begitu, dunia usaha menegaskan bahwa ini hanya sementara.
Secara umum, pelaku usaha manufaktur masih optimistis memandang prospek produksi 12 bulan ke depan. Dunia usaha berharap kondisi pandemi Covid-19 bisa membaik, yang bisa memulihkan permintaan.
“Gelombang serangan kedua Covid-19 telah memukul sektor manufaktur Indonesia. Selain gangguan produksi dan permintaan, dunia usaha juga mengalami hambatan dalam mendatangkan bahan baku. Ketidakpastian yang meningkat juga membuat dunia usaha untuk mengurangi pekerja dengan laju tercepat sejak Juni 2020, meski banyak yang menilai ini hanya sementara karena penerapan PPKM,” sebut Jingyi Pan, Economics Associate Director di IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Sementara di level rumah tangga, jeritan itu tergambar dari data inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pada Juli 2021 terjadi inflasi 0,08% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Sementara dibandingkan Juli 2020 (year-on-year/yoy), terjadi inflasi 1,52%.
Namun yang perlu menjadi perhatian adalah inflasi ini. Pos ini berisi barang dan jasa yang harganya sudah naik-turun. Saat inflasi inti melambat, artinya dunia usaha memilih untuk menahan diri menaikkan harga karena khawatir produknya tidak bisa terjual. Jadi, inflasi inti menggambarkan daya beli masyarakat.
Pada Juli 2021, inflasi inti tercatat 1,4% yoy. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 1,49% yoy.
|
“Pada Jul 2021, inflasi inti adalah 0,07% mtm. Mei sampai Jul menujukkan penurunan meski msh positif,” kata Margo Yuwono, Kepala BPS.
Apa boleh buat. Ancaman PHK membuat pendapatan rumah tangga menjadi penuh tanda tanya. Mengurangi konsumsi adalah pilihan yang paling masuk akal.
Oleh karena itu, prospek ekonomi Indonesia menjadi penuh ketidakpastian. So, sangat wajar berbagai institusi merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi.